Hutan wilayah Jawa Timur bagian barat sebagai hutan tropis, dimusim penghujan seperti sekarang ini ternyata juga menyediakan makanan sebagai lauk-pauk yang lezat bahkan sering dikunjungi warga kota untuk membelinya. Tepatnya hutan KPH Parengan, Jatirogo, Tuban dan Bojonegoro.
Saat ini sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan-hutan atau dikenal dengan istilah tamping, dari pagi hingga sore mendatangi hutan itu, bukan untuk mencari kayu bakar melainkan mencari ulat dan kepompong untuk dijual dan dimakan sendiri.
Setiap awal musim penghujan yang datang di akhir tahun hingga bulan di awal tahun, salah satunya warga Desa Wukirharjo, Desa Dagangan, Kecamatan Parengan dan sekitarnya, yang kebanyakan mencari batu dan kayu sebagai gantungan hidup, untuk saat ini beralih profesi dadakan sebagai pengumpul kepompong.
Di dalam hutan ini sejumlah wanita desa sedang mencari kepompong secara beramai-ramai. Pasalnya setiap musim penghujan tiba daun jati muda tumbuh dan pada saat bersamaan muncul ulat yang menggerogoti daun jati.
Sebagian ulat yang menggerogoti daun jati jatuh ke permukaan tanah. Menurut Sukirman, salah warga Desa Wukirharjo, jumlahnya bisa mencapai jutaan berserakan di sela-sela tanaman jati hutan dan menempel di daun jati yang rontok ke tanah.
Ulat-ulat yang jatuh ini bersembunyi di balik berserakannya daun kering. Kondisi ini oleh warga setempat ditengarai terjadi di musim labuh atau awal musim hujan tiba. Sukirman dan warga desa lainnya mengaku sudah tiga minggu mendatangai hutan jati.
“Karena tidak lama lagi, sekitar tiga minggu lagi, kemungkinan kepompong itu berubah menjadi kupu-kupu, ” tutur Sukirman.
Lantas untuk apa kepompong yang jumlahnya ribuan itu mereka kumpulkan ramai-ramai di tengah sunyinya hutan jati sekitar tempat tinggal mereka? Ternyata, kepompong yang telah dikumpulkan lalu dimasak oseng-oseng atau dimasak sayur asem-asem. Karena bisa dimasak, pencari kepompong itu merasa bisa mengirit biaya hidup keluarganya.
Biasanya mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli tempe atau tahu sebagai lauk santap makan tapi kali ini cukup dengan oseng-oseng kepompong dan sayur asem-asem sudah cukup terpenuhi keperluan lauk harian.
“Kalau kami memperoleh banyak kepompong tidak kami konsumsi sendiri. Tapi dijual dengan harga per satu wadah ember kecil Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu. Bahkan para pembeli banyak mendatangi tempat warga mencari kepompong di dalam hutan jati. Namun disadari oleh warga setempat bahwa mencari kayu bakar atau kepompong mengandung resiko bahaya sebab di semak hutan belukar ini masih banyak ularnya. Karena itu demi keselamatan dalam menyusuri setiap jengkal areal hutan saat mencari kepompong dan ulat, warga memilih mencari kepompong secara bergerombol,” tutur Sukirman.
Seorang ibu rumahtanga warga Desa Dandangan, Sutartik, mengatakan jika dimasak atau ditumis yang pernah merasakan dan mengolahnya menjadi sayur asem-asem dengan lauk pauk anak lebah muda, tentunya bisa merasakan rasa sayur kepompong apalagi dibumbui dengan sedikit cabai dan garam plus 1 butir telor ayam kampung yang diceplok.
Kata Sutartik, ada pula yang membuat tumis kepompong rasa sayur lodeh. Ada juga yang membuat menjadi peyek. Soal rasa kalau boleh menilai paling pas ditumis. Rasanya gurih bercampur asin jadi satu. Lumayan menu dadakan ini bisa menambah protein bagi mereka.
Ketika Asper BKPH Sekaran, Teguh Yuli Anggoro, dalam suatu kesempatan turun ke lapangan sambil mengecek pekerjaan mandor tanamnya ia coba sempatkan mendekati beberapa warga Sadang, Kecamatan Jatirogo, disebutkan bahwa kira-kira dalam satu hektar bisa didapatkan enthung 4 kg dalam 1 hari. Pencarian dalam hamparan bisa dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Berarti dalam satu hektar rata-rata bisa mendapatkan 12 kg.
“Bila dirupiahkan mereka bisa memperoleh penghasilan Rp. 180.00,- per hektar. Ini bila saya hitung harga jual enthung disini per cangkir Rp. 1.500,- atau setara 2 ons,” papar Teguh.
Sayang, musim enthung ini cukup singkat hanya sekitar 1-2 bulan saja waktunya antara Desember dan awal Pebruari. Jika hujan turun lagi secara terus menerus maka ulat dan enthung kembali lenyap menghilang dan hutan kembali menghijau daunnya.